Rabu, 20 Februari 2008

Meneguhkan Yogya Kota Pariwisata

Oleh Sumbo Tinarbuko



Awal 2008, Pemkot Yogyakarta membuat gebrakan baru dengan mencanangkan tema pembangunan Yogyakarta kota pariwisata berbasis budaya. Gebrakan dan repositioning Yogyakarta sebagai kota pariwisata berbasis budaya layak diacungi dua ibu jari. Perlu disengkuyung dan disikapi semangat proaktif masyarakat luas yang mengaku memiliki serta mencintai Yogyakarta.

Sejatinya, tanpa konsep repositioning pun, kota Yogyakarta sudah dipatenkan sebagai kota pariwisata dan pendidikan. Menjadi kota pariwisata karena peninggalan bangunan heritage, kuliner, kesenian, dan adat istiadat yang adiluhung mahakarya nenek moyang Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan sebagai kota pendidikan disebabkan oleh hadirnya lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi telah teruji oleh ruang dan waktu yang berhasil menghantarkan peserta didiknya menjadi seorang intelektual Indonesia tulen yang religius, humanis, berbudaya, dan bermartabat.

Pertanyaannya kemudian, repositioning Yogyakarta sebagai kota pariwisata berbasis budaya macam apa yang dimaksudkan dalam konteks ini? Apakah embel- embel kata budaya selanjutnya diartikan sebagai objek wisata yang mengedepankan sejumlah atraksi kesenian tradisional yang dipadatkan penyajiannya sebagai unggulan daya tarik wisata? Atau para pelaku pariwisata diwajibkan menggenakan busana tradisional Yogyakarta yang terdiri dari jarik, kebaya, surjan, dan blangkon?

Lalu bagaimana dengan kondisi penyajian objek wisata itu sendiri? Kumuh, kotor penuh coretan grafiti liar, ala kadarnya, bersih, unik, menarik, menawan? Bagaimana pula dengan pola pelayanan dan citra kenyamanan yang didedikasikan kepada para wisatawan?

Sudah siapkah Pemkot Yogyakarta menyediakan sarana prasarana, SDM, dan lingkungan yang menunjang keberadaan objek wisata tersebut?

Terlepas dari berbagai pertanyaan di atas, seyogianya sebelum mencanangkan kembali Yogyakarta sebagai kota pariwisata berbasis budaya, terlebih dulu perlu mempersiapkan berbagai objek wisata di seantero kota Yogyakarta lengkap dengan sarana prasarana yang memadai, nyaman, aman, ngangeni, dan unik khas Yogyakarta.

Langkah yang dilakukan: membuat zonasi atas objek wisata yang ada di Yogyakarta. Zona satu, terdiri dari: wisata pendidikan dan konferensi, wisata kuliner sajian beragam jenis makanan khas Yogyakarta dan sekitarnya.

Wisata belanja di sepanjang jalan Solo, Malioboro, pasar Beringharjo pasar Ngasem, dan pasar klithikan Kuncen.

Wisata heritage yang terdiri dari bangunan peninggalan arsitek Portugis, Belanda yang masih berdiri megah hingga sekarang seperti: Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman lengkap dengan Alun-alun, ndalem pangeran Jeron Beteng, Tamansari, museum Sonobuyo, museum kereta kuda, dan arsitektur Masjid Agung yang unik dan indah. Selain itu juga bangunan heritage peninggalan Belanda seperti: Gedung Agung, Societet, Beteng Vredenburg, Kantor Pos, Bank Indonesia, Bank BNI, Ngejaman.

Serta wisata seni rupa, seni pertunjukan tradisional dan kontempoter dilengkapi museum, galeri, ruang pamer, gedung pertunjukkan dengan dukungan kreativitas seniman yang berjibun jumlahnya.

Zona dua, wisata sejarah, dan wisata religius. Semuanya itu bisa didapatkan di daerah Kotagede dan sekitarnya. Di sana berbagai bangunan kuno dan makam leluhur peninggalan kerajaan Mataram pertama, cenderamata perak dan kuningan, pasar dan makanan tradisional, kesenian tradisional, kendaraan tradisional tanpa mesin. Dapat pula ditambahkan kebun binatang Gembiraloka dengan koleksi lengkap berbagai binatang dan tumbuhan langka.

Konsep zonasi objek wisata ini akan menjadi pedoman dalam mempromosikan objek wisata kepada masyarakat luas lewat berbagai media komunikasi visual dan memudahkan pelaku pariwisata untuk mengagendakan berbagai atraksi unggulan di setiap zonasi objek wisata kota Yogyakarta. Dengan demikian, para wisatawan akan tersebar ke berbagai objek wisata sesuai dengan minatnya masing-masing tanpa harus menumpuk dan terkonsetrasi di kawasan Malioboro yang dari hari ke hari selalu dirundung kemacetan.

Zonasi objek wisata semacam itu menjadi penting bagi wisatawan yang akan mengunjungi kota Yogyakarta. Dengan zonasi objek wisata seperti itu lebih memudahkan wisatawan untuk mengunjungi objek wisata di Yogyakarta sesampainya mereka turun dari kereta api, pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi. Mereka tidak akan kebingungan karena memiliki panduan dalam bentuk buku objek wisata kota Yogyakarta atau denah lokasi, sistem pertandaan yang dengan cermat dan unik akan memandu wisatawan menuju objek wisata yang diinginkan.

Setelah zonasi objek wisata ditentukan, dirawat, dan dipelihara sesuai dengan peruntukannya. Konsentrasi berikutnya adalah mempersiapkan, menata, dan mendidik SDM pelaku pariwisata, pejabat publik, dan masyarakat luas agar memiliki kesadaran akan pentingnya dunia pariwisata bagi kota Yogyakarta dengan mengedepankan aspek handarbeni dan nguri-uri aset objek wisata tersebut.

Wujud nyata yang dapat segera diejawantahkan salah satunya dengan memberikan jaminan kepada wisatawan untuk mendapatkan kemudahan dalam hal sirkulasi keluar-masuk objek wisata, rasa aman dan nyaman, serta menemukan suasana khas yang bersifat rekreatif.

Selain itu perlu pula dilakukan penataan rute jalan wisata yang nyaman, kendaraan bermesin ataupun tidak yang dirancang khusus untuk mengangkut wisatawan keliling Yogyakarta, street furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah, tempat parkir yang tertata rapi, membunuh premanisme juru parkir nakal, membersihkan sampah, menata PKL dan taman kota lengkap dengan patung-patung kota yang dapat menimbulkan kesan indah, bersih, nyaman, dan ngangeni. Semuanya itu sangat didambakan wisatawan dalam rangka mendapatkan pengalaman dan kenangan khusus ketika mereka melancong di kawasan tersebut.

Kesadaran masyarakat luas, pejabat publik, dan SDM pelaku pariwisata perlu senantiasa ditumbuhkan dengan mengedepankan aspek budaya Jawa yang menjadi sokoguru bagi perkembangan emosi dan intelektualitas masyarakat Yogyakarta. Budaya Jawa mengajarkan kepada kita untuk bersedia melayani dan menolong siapa pun yang membutuhkan. Sabar, ramah tamah dan murah senyum. Memelihara dan menjaga lingkungannya agar senantiasa teduh, nyaman, aman, bersih, serta sehat. Senantiasa memelihara keberagaman dengan selalu memunculkan keunikan-keunikan khas masyarakat Yogyakarta.

Jika kesadaran semacam itu sudah menjadi idiologi dan kebiasaan sehari-hari masyarakat luas, pejabat publik, dan SDM pelaku pariwisata, maka lewat reklame dari mulut ke mulut, dengan sendirinya para wisatawan akan berkunjung dan betah menelusuri berbagai objek wisata Yogyakarata selama berhari-hari. Karena sejujurnya aura kota Yogyakarta memang selalu ngangeni siapapun yang pernah singgah di sini.

*)Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar: